Artikel Pesanan vs Kreasi Sendiri

Sambil menyapu rumah barusan, pikiran malah kemana-mana. Mikirin artikel-artikel yang saya tulis. Seminggu ini, saya menarik dua artikel di dua media berbeda. Sudah beberapa bulan tak ada kabar. Satu di majalah yang sudah berkali memuat artikel saya.

„Mungkin kali ini gak cocok,“ pikir saya.

Satu lagi di majalah yang baru saya coba tembus. Saya pikir juga tak cocok untuk dimuat di sana. Besoknya editor majalah langganan membalas. Tak merasa menerima artikel yang saya maksud.

„Kirim lagi saja,“ katanya.

„Syukurlah,“ saya pikir sudah tak ada harapan. Mungkin surel lagi error.

Hari ini editor majalah kedua membalas. Sama, merasa tak menerima artikel yang saya kirim. Hey, satu artikel error bisa dimaklumi. Dua? Apa surel saya yang bermasalah?

Ya sudahlah. Memang sudah harus demikian jalannya. Saya kirim lagi artikelnya. Sambil menanyakan kira-kira layak muat apa tidak. Tak lama, beliau minta dikirimi foto pendukung. Moga artinya ada harapan dimuat. Aamiin.

Setelah mengurus dua artikel tadi, eh pikiran saya nyambung ke tema artikel pesanan dan kreasi sendiri. Ndak berhubungan dengan kasus di atas, tapi kepikiran. Kebetulan sudah lama nggak menulis untuk halaman On Travel Writing, jadi saya pikir tema ini bisa dijadikan ide artikel.

Artikel saya yang dimuat di media massa kebanyakan hasil kreasi sendiri. Artinya, saya temukan ide, saya kembangkan jadi sebuah artikel, pilih foto-foto pendukung, kirim ke editor. Berbulan-bulan kemudian, jika saya beruntung, saya bisa melihatnya tercetak cantik di sebuah koran, majalah, atau tabloid.

Prosesnya tak menentu. Jika ada rizki, minggu depannya sudah mejeng artikel tersebut. Kalau tidak, mesti nunggu 1-6 bulan, tergantung antrian. Atau kalau anda belum beruntung, seumur hidup tak akan pernah melihatnya di media cetak. Hehe.

Mengerjakan dan menyelesaikan artikel kreasi sendiri pun tak menentu. Kadang sehari jadi, kalau  mood sedang bagus. Kadang tiga bulan kemudian jadinya. Kadang pula artikel tersebut tak pernah saya selesaikan. Selain tak ada mood, bahan pendukung tulisan tak lengkap. Saya jadi malas, lalu beralih ke ide lain.

Ada kalanya saya menerima pesanan artikel dari editor. Baru beberapa kali. Ada perbedaan saya rasakan mengerjakan artikel pesanan dibandingkan dnegan berkreasi dengan ide pribadi.

Saya tentunya ria jika ada yang memesan artikel. Biasanya kann saya yang mengetuk pintu editor, menawarkan donat, eh artikel. Kadang sampai gedor-gedor pintu mereka pun tak dibukakan  alias ditolak atau tak jelas nasib artikelnya. Lha ini ada editor mengetuk pintu saya, sebisa mungkin tak saya lewatkan. Saya buka pintu lebar-lebar. Artikel pesanan biasanya masuk jalur cepat. Kalau koran hitungannya 1-2 minggu. Kalau majalah, bulan depannya sudah nangkring. Hornornya lancar jaya. Alhamdulillah.

Selama ini, hanya sekali saya menolak menggarap artikel pesanan. Temanya terlalu berat, waktunya hanya dua hari. Tak cukup untuk riset materi.

Macam-macam juga cara editor memesan tulisan. Yang paling enak itu jika kita bisa menentukan sendiri tema yang mau disampaikan. Saya bisa menulis dengan bahagia, cepat dimuat plus cepat dapat honor. Mulia sekali hidup penulis seperti ini. Hihihi.

Kebanyakan sih, editor sudah punya tema yang mau dipesan. Yang lebih dasyat, ada yang juga sudah memberikan kisi-kisi tulisan. Sebenarnya enak juga. Saya tak perlu mikir lagi, tema yang harus saya garap. Tinggal riset, tulis.

Tapi masalahnya, jika tema ditentukan orang lain, menaikkan mood menulis juga susah. Memaksa diri supaya mau bikin riset saja sangat susah. Apa ini sebuah egoisme, ya? Sangat mungkin. Padahal, endingnya sama-sama naik cetak dan dibayar, tapi mengawalinya berbeda.

Untungnya ada yang namanya DL. Walaupun DL ini berbeda-beda juga. Ada editor memberikan tenggat 3 minggu, ada yang dua hari, ada yang cuma ngasih ASAP. Tapi saya jadi merasa punya tanggung jawab. Saya punya tekad, tak mau menyelesaikan pekerjaan terlalu dekat dengan DL. Editor sudah sangat sibuk. Kalau saya bisa menyerahkan jauh-jauh dari tenggat, sama-sama enak buat saya dan beliau. Jika ada revisi pun, saya masih ada waktu buat memperbaiki.

Nulis kayak gini, kok kesannya jadi seperti penulis profesional, yah. Padahal porsi artikel di media massa juga belum banyak. Hehehehe… Tapi semoga saya bisa menulis yang lebih baik dan manfaat. In shaa Allah.

2 Comments

  • Mulia

    wah, mbaaak,,,,
    saya mau diajarin nulis dong…
    Terus kalo uda Deadline tapi mood nulisnya belum muncul juga gimana ya mba??? Bagi tipps nya dong mba…

  • ira

    Hayukkkkk kalau mau belajar menulis. Kirim aja email ke aku. Alhamdulillah sampai sekarang aku selalu bisa memenuhi pesanan sebelum deadline. Kalau sudah menerima pesanan, artinya sudah ada komitmen dan tanggung jawab. Dan aku gak mau merusak kepercayaan editor. Meski tidak mood. Ya dipaksa agar dapat mengisi lembaran kosong di word. Biasanya aku banyak membaca dan mencari bahan di internet. Kalau materi pendukung tulisan sudah terkumpul, biasanya akan lebih mudah memulai sebuah tulisan.

Leave a Reply

%d bloggers like this: