Berpesiar Bersama Anak-Anak

Keluarga pelancong memulai petualangan mengunjungi kota-kota dan negara baru setelah kelahiran Embak. Ya, kami memulainya sebagai suatu keluarga. Sejak Embak berumur empat bulanan, dia sudah kami ajak mengunjungi Salzburg, Austria. Kira-kira empat jam perjalanan berkerata api ekonomi dari Nuernberg, tempat tinggal kami saat itu.

Syukurlah selama ini Embak tidak pernah rewel dan merepotkan selama perjalanan. Makan pun mudah. Brötchen (roti) lebih sering dimintanya ketika lapar. Harganya murah, mengenyangkan serta mudah membelinya di toko roti di seantero Eropa.

Waktu Embak masih kecil dan Adik belum lahir, semuanya memang lebih mudah bagi kami. Embak bisa duduk di kereta dorong anak (stroller) miliknya. Dimana dia bisa duduk, tidur, makan, bermain. Sambil kami dorong atau sesekali gendong kemana-mana, perjalanan kami hampir tak terganggu sama sekali. Emak dan Bapak bisa berjam-jam menjelajahi suatu tempat, dan sesekali saja beristirahat. Agar tak rewel kami sediakan segala kebutuhannya. Makanan pokok, cemilan, cerita-cerita a la sanggar cerita dalam bentuk MP3, atau mainan kecil yang mudah dibawa, praktis dan menghibur.

Satu dua pengalaman tak terlupakan saat membawa Embak dalam kereta dorongnya. Di Paris, metronya tak bersahabat bagi orang cacat dan orang tua pembawa kereta dorong anak. Mereka jarang sekali memiliki tangga berjalanan. Apalagi lift. Naik turun mesti dilakukan melalui undakan tinggi. Letaknya haltenya pun jauh sekali di dalam tanah. Kami berdua bergotong royong menganggat kereta Embak sambil naik turun undakan. Dan ini kami lakukan setiap kali naik dan turun metro.

Di Venesia pun demikian. Embak masuk angin karena kami sempat bermalam di sebuah stasiun kereta api. Semenjak dalam pesawat menuju Venesia, dirinya sudah muntah-muntah. Tiba, badannya langsung lemas. Diberi makan sesuatu, tak lama kemudian muntah lagi. Bapak dan Emak sempat bingung dan sempat akan membatalkan rencana keliling Venezia hari itu. Namun setelah menunggu beberapa saat di bandara kondisinya terlihat membaik, kami pun kembali bersemangat untuk berpetualang. Kami tidurkan dia di kereta dorong sambil diselimuti. Lalu mengangkatnya naik turun puluhan jembatan Venesia yang tak ramah bagi pemilik alat beroda.

Ketika Adik lahir dan Embak sudah tak pantas lagi menaiki kereta dorong, ritme jalan-jalan kami pun mengalami penyesuaian. Melambat tentunya. Bawaan semakin banyak. Embak belum bisa diajak berjalan terlalu cepat. Dan lagi, kami harus menyesuaikan. Bila dia lapar, langsung mencari tempat duduk. Capek pun demikian. Hasilnya, kami mesti mengurangi jumlah tempat tujuan wisata yang akan dikunjungi disuatu tempat. Waktu perjalanan yang biasanya cukup sehari dua hari, kini menjadi tiga hingga empat hari di satu kota. Kuantitas berkurang, kualitas bertambah.

Barang wajib yang dibawa selain makanan dan perlengkapan anak, tentu saja boneka atau mainan kecil kesukaannya. Alat permainan kecil seperti Nintendo DS atau PSP sering membantu sebagai pengalih perhatian Embak. Juga lagu dan cerita anak-anak di MP3. Kami juga selalu sedia cemilan yang gampang dibawa-bawa. Biskuit adalah pilihan bagus. Kering, kecil, pas di tangan anak-anak.

Jika bertemu dengan sebuah taman bermain ketika berjalan, berarti inilah waktunya rehat lagi. Embak biasanya paling tak tahan ingin mampir jika melihatnya. Tak ada salahnya mengikuti keinginannya sejenak. Agar dia menjadi lebih terhibur dan melupakan rasa bosan.

Membawa anak-anak dalam perjalanan jauh berhari-hari memang bukan perkara mudah. Persiapan mesti lebih lama dan matang. Jika kurang teliti dan ada yang ketinggalan bisa menyebabkan tekanan di perjalanan. Berusaha santai dan berusaha menampilkan suasana gembira di segala situasi membuat semua jadi lebih mudah. Ah, kami tak bisa membayangkan sepinya perjalanan tanpa mereka.

9 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: