Reruntuhan Volubilis, Maroko

Mozaik Dionysos, Volubilis
Mozaik Dionysos, Volubilis

Di Eropa, masuk ke reruntuhan bersejarah seperti candi atau bekas kota bukannya sesuatu yang murah. Ketika tahu tak jauh dari Fes, kota tempat kami menginap selama di Maroko ada  kompleks reruntuhan kota Romawi kuno, tak kami sia-siakan kesempatan mendatanginya.

Biaya hidup di Maroko lebih murah dibanding di Jerman, di mana kami tinggal saat ini. Ketika adik-adik mahasiswa teman kami di Fes menganjurkan kami sewa taksi sehari untuk mengunjungi beberapa tempat wisata, langsung kami iyakan. Rute kami hari itu adalah Volubilis, Moulay Idriss Zerhoun, dan Meknes.

Volubilis atau Walili dalam bahasa setempat, berjarak 64 km dar Fes. Di sebuah dataran di Jebel Zerhoun. Dekat pertemuan dua sungai : Oued Khoumane dan Oued Fertassa. Lewat kota kesultanan Meknes dan Moulay Idriss Zerhoun. Dalam perjalanan kota Fes – Volubilis, banyak hal baru kami lihat. Menambah apresiasi kami tentang negara ini. Selain pasar dan perkampungan, pemandangan di dominasi oleh kebun-kebun zaitun di sepanjang jalan. Dari Meknes, kami naik turun perbukitan. Selain perkebunan zaitun, beberapa tempat banyak sekali ditumbuhi kaktus. Saking suburnya kaktus tersebut dipanen buahnya untuk diperdagangkan.

Dataran subur ini sudah dihuni manusia di jaman neolithikum. Kota ini diperkirakan mulai berkembang sejak abad ketiga sebelum masehi. Sebagai pos salah satu propinsi dari Mauritania. Sedangkan bukti arkeologi tertua berasal dari pertengahan abad kedua sebelum masehi. Mengungkapkan satu desa kecil berbatu bata dan berpondasi batu, serta beberapa candi tempat pemujaan. Juba II, Raja Mauritania, menjadikannya sebagai tempat tinggal selama memerintah (25 BC – 23 AD). Di kala itu, diperkirakan para elit yang tinggal di sini adalah kaum Berber, penduduk asli daerah ini.

Volubilis mengalami jaman keemasan di abad 2 hingga 3 masehi. Berpenduduk antara 10 ribu hingga 20 ribu jiwa dengan penghasilan utama berasal dari ekspor minyak zaitun (dari sekitar 40 ha kebun zaitun di sekitarnya), penjualan singa dan leopard liar untuk dijadikan binatang sirkus di Roma. Kota ini berkembang menjadi tipikal kota elegan Romawi kuno, memiliki tembok sekeliling sepanjang 2500 meter dengan 8 gerbang. Ketika orang Romawi mulai meninggalkan Volubilis, dan Islam mulai berkembang di Maroko di abad ke 8, tempat ini masih terus ditinggali orang hingga abad ke delapan belas masehi. Saat itu, Moulay Ismail menggunakan sebagian bebatuannya untuk membangunnya istananya di kota Meknes. Wow, minyak zaitun pun sudah ditanam, dan dijadikan minyak oleh manusia ribuan tahun lamanya.

Perjalanan mobil naik turun di pegunungan menuju Volubilis membuat diri susah menahan kantuk. Dua jam kira-kira waktu kami butuhkan dari kota Fes. Tanpa berhenti sama sekali. Cuaca Maroko di musim dingin, pertengahan Februari hari itu, terasa terik bagi kami. Jelang Volubilis, kami berpapasan dengan beberapa bus wisata. Sebagian dengan turis-turis berwajah Asia. Tempat parkir kompleks arkeologisnya sendiri terlihat tak terlalu ramai oleh kendaraan. Dari Meknes, orang bisa naik bus umum yang lewat daerah ini. Dari kendaraan, kompleks ini sudah terlihat di kejauhan.

Penggalian arkeologis di Volubilis dimulai sejak tahun 1915, berlangsung hingga kini. Membuka lebih dari 20 ha lahan. Namun masih banyak lagi yang harus digali, khususnya di daerah ynag pernah dikuasai oleh bangsa Romawi Kuno. Situs bersejarah ini menjadi masuk dalam daftar warisan budaya UNESCO sejak 1997. Sebagian besar artifak yang masih utuh sudah berpindah ke Museum Tanger atau Museum Arkeologi di Rabat, ibukota Kerajaan Maroko. Selain penggalian, renovasi juga berlangsung hingga kini.

Tiket masuk situs sejarah Volubilis yang kata buku panduan wisata kami mahal, ternyata hanya 10 dirham Maroko saja. Atau hampir sebelas ribu rupiah. Buka mulai pukul 8 pagi hingga sejam sebelum matahari terbenam. Kami semua masuk kecuali Bapak sopir, memilih menunggu di luar kompleks.

Peta situs di buku panduan kami lengkap isinya. Menggambarkan satu kompleks pemukiman dibatasai tembok batu dan dua sungai kecil. Lengkap dengan denah dan nama-nama sebagian bangunan. Akan tetapi, ketika sampai di sana, kami lupakan peta. Kami ikuti saja jalan bebatuan, menyeberang Sungai Oued Fertassa, lalu naik ke dekat kapitol dan basilika. Saat itu, tak terlalu banyak pengunjung mengamati isi situs.

Tanpa informasi sebelumnya, situs bersejarah ini mungkin akan menjadi susunan batu tanpa makna. Petunjuknya sangat sedikit. Emak perhatikan, kapitol adalah tempat favorit pengunjung untuk berfoto. Pilar-pilarnya yang menjulang mengingatkan akan situs Akropolis di Athena. Satu puncak pilar menjadi sarang burung dan tak dibersihkan.

Kami berfoto pula di sana. Seorang penjaga sempat memperingatkan Emak ketika memanjat tembok hendak mengambil foto. Ternyata ada bagian rapuh Emak injak. Emak minta maaf, berlalu menuju ke selatan.

Volubilis kuno terkenal memiliki rumah-rumah dengan pemandian berkeramik. Motifnya beraneka rupa. Paling banyak bermotif binatang. Walau beberapa rusak, banyak bagian lantai keramik bermotif ini masih bisa dinikmati. Emak sempat merasakan kehalusan teksturnya. Membuat Emak sadar. Bahkan dua ribu tahun lalu, manusia sudah memiliki cita rasa seni sangat tinggi.

Alat pemeras zaitun kuno
Alat pemeras zaitun kuno

Kekaguman ini makin bertambah, mengamati sebuah bangunan khusus pemeras buah zaitun untuk diambil minyaknya. Bangunan yang telah direkonstruksi tersebut terdiri dari dua ruangan, atas dan bawah. Bagian bawahnya terdapat dua batu berbentuk lingkaran seperti sumur. Dengan satu balok kayu panjang untuk memutar batu. Bagian atas terdiri dari satu balok lebih panjang, menjulur hingga ruangan bawah. Entah untuk apa.

Makin lama, makin banyak ruangan berkeramik Emak amati. Menyusuri lorong-lorong sempit sambil membayangkan kekadaan kota di zaman kuno. Sayangnya banyak ruangan tertutup ilalang atau tanaman liar. Di luar kompleks perumahan, malah banyak batu-batu berserakan tertutup tumbuhan. Sesekali penjaga-penjaga lelaki hilir mudik memperhatikan tingkah pengunjung.

Berjalan bersama anak-anak ke arah utara dan berfoto di bawah konstruksi batu tinggi berbentuk busur, Emak terangkan sedikit kepada Embak tentang Volubilis. Dia menyesal tak ikut menyaksikan ruangan-ruangan berlantai keramik. Akan tetapi lantai-lantai keramik banyak kami temukan di kompleks bagian barat bernama Decumanus Maximus.

Di satu bagian bangunan, sekelompok remaja berkumpul, mendengarkan kuliah seorang bapak tua. Tampaknya mahasiswa. Mereka berbahasa inggris, menenteng setumpuk kertas. Salah satunya saya lihat adalah peta lengkap. Taksir Emak, mereka para mahasiswa arkeologi atau sejarah sedang melakukan ekskursi di Volubilis.

Decumanus Maximus adalah bagian elit kota. Konon dulunya adalah deretan villa-villa mewah berlantai mosaik bertema mitologi. Terbuat dari batu-batu keramik dan batuan kapur dari pegunungan sekitarnya. Hampir setiap bangunan memiliki nama-nama tersendiri. Rumah Titus Flavius Germanus, Rumah Dionysos dan empat musim, Rumah Hewan Pemburu, Rumah Koin Emas, Rumah Jam Matahari, dan masih banyak lagi. Yang paling terkenal adalah Rumah Venus. Terletak di satu jalan, paralel dengan Decumanus Maximus.

Rumah Venus punya paling banyak keramik dan mozaik yang paling halus buatannya. Segerombol turis sudah berada di satu sisi tempat mengamati rumah khusus ini. Kami hanya melirik sebentar, sebelum berlalu cepat. Satu jam di Volubilis cepat sekali berlalu. Banyak pelajaran baru sekaligus makanan bagi jiwa. Mengingatkan kami akan kebesaran-Nya menciptakan manusia.

Minyak Zaitun
Minyak Zaitun

Kami hanya membeli buah zaitun sepulang dari Meknes. Tak bawa minyaknya. Buah zaitunnya adalah buah zaitun terenak yang Emak pernah nikmati. Minyak zaitun sendiri selalu tersedia di rumah kami. Harganya relatif murah. Sebab banyak negara Eropa penghasil buah zaitun. Minyak zaitun Emak gunakan untuk menumis atau sebagai campuran salad. Selain lezat, khasiatnya juga bagus untuk kesehatan kita.

 

20 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: